Hari ini sangat cerah. Matahari tersenyum dengan lebarnya, tak memedulikan mahluk-mahluk Tuhan yang kepanasan dibawahnya. Murid-murid SMU Tunas Harapan yang baru pulang sekolah, segera mencari tempat berteduh dan minuman dingin untuk memuaskan dahaga. Namun, hanya ada satu orang yang masih berdiri di tengah lapangan basket sambil memainkan bola basketnya. Beberapa orang berdecak heran melihat gadis tersebut. Bahkan beberapa anak sudah memperingatkannya agar segera berteduh, namun malah dijawab dengan senyuman dan gelengan kepala.
Satu jam berlalu. Gadis itu masih asyik dengan bola basketnya. Dia tidak memedulikan teriknya matahari yang menyentuh kulitnya. Dia tetap mendribbel bolanya dan.... MASUK!!! Tepat sasaran.
“Woi, Sha! Asha! Sini, istirahat dulu!” suara seorang cowok memanggil gadis yang ternyata bernama Asha itu. Asha menghentikan permainannya. Dia menghampiri cowok yang memanggilnya dan tersenyum begitu mengetahui cowok yang memanggilnya.
“ Hey, bro! Udah lama banget nih gue nggak ketemu lo, Rey!” Asha menyambar air mineral yang disodorkan padanya. Cowok itu menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat Asha meneguk air mineralnya dengan penuh nafsu. “Sabar, Sha. Gue tahu kok lo dehidrasi banget, tapi kalau gini juga gue jadi takut liat lo! Istighfar, non!!” Sebentar saja, air mineral yang berada di botol tanggung itu, habis diminum Asha.
“ Hey, bro! Udah lama banget nih gue nggak ketemu lo, Rey!” Asha menyambar air mineral yang disodorkan padanya. Cowok itu menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat Asha meneguk air mineralnya dengan penuh nafsu. “Sabar, Sha. Gue tahu kok lo dehidrasi banget, tapi kalau gini juga gue jadi takut liat lo! Istighfar, non!!” Sebentar saja, air mineral yang berada di botol tanggung itu, habis diminum Asha.
“Alhammdulillah.. Legaa... Thanks. Eh, gak biasanya lo cari gue. Ada apa? Lo kangen sama gue?” tanya Asha sambil mengelap keringat dengan handuk kecil yang dibawanya dari rumah.
“G-R lo! Yah, gue pengen aja ngobrol-ngobrol bareng lo lagi. Kayaknya udah lama banget gue nggak komunikasi sama lo. Gimana kabar lo?”
“Standar banget sih pertanyaan lo!Haha!” Asha ngakak dengan mulut lebar selebar kuda nil lagi menguap. Wajah Rey langsung mengkerut.
“Haha. Iya, iya gue jawab. Seperti biasa, baik selalu. Kenapa akhir-akhir ini lo nggak nampak?” Asha mengambil permen karet dari sakunya dan menyodorkannya pada cowok yang dipanggilnya Rey itu. Rey pun mengambil satu dan mulai memakannya.
“ Emang gue apaan? Jin dalam botol? Gue kan manusia normal. Hehe. Yah, akhir-akhir ini gue nganterin Cindy melulu ke mal. Setiap hari dan setiap waktu. Frustasi gue ke mal. Sekarang gue kena mal-phobia!” Rey mengunyah permen karetnya. Sesekali dia menggelembungkan permen karet itu.
“Lo kan emang bangsa jin, dodol!Haha! Terus, emang ada nama penyakit begituan? Dasar!” Asha menoyor jidat Rey. “Tapi kalau Cindy, gak heran deh gue. Sejak pertama udah gue ingetin, kalau lo mau pacaran sama Cindy, lo harus siap mental, fisik dan dompet tetap tebal. Yah, sekarang lo sudah jadian ama dia. Mau gimana lagi? Oya, anak-anak balap tanya lo terus tuh. Sampai bosen gue jawabnya. Kangen kali, hahaha.”
“Gak mungkin kalau kangen sama guenya. Paling juga kangen sama duit gue. Emang lo masih ikut balapan, Sha?” tanya Rey. Beberapa anak cewek menyapanya, tapi dia hanya berpaling sebentar untuk menganggukkan kepala dan tersenyum, lalu kembali memperhatikan Asha.
“Iyalah. Kemarin gue menang dapet 4 juta. Lumayan buat tambah-tambah biaya pengobatan nyokap gue. Tapi ya gitu, siap kena resiko. Gak masalah, toh luka bagi pembalap adalah kebanggaan.” Asha menunjukkan luka yang diperolehnya dengan tertawa ringan.
Rey memandangi luka Asha dengan takjub. Luka itu kira-kira berdiameter 5 cm dan pastinya mengalir darah cukup banyak saat terluka waktu itu.
“Gila lo! Ini sih pasti sakit! Sayang gue nggak liat pas kejadian. Gue bakal ketawa liat lo nangis.” Rey masih memandangi dengan takjub.
“Yailah. Gue kan bukan kayak cewek lo yang manja, dudul. Lagipula cuma luka segini aja. Gak sakit-sakit amat.” Asha pun mengibaskan tangannya di depan wajah Rey, menyuruhnya untuk bersikap biasa saja.
“Dasar manusia mati rasa! Luka separah itu dianggap biasa. Eh, ngomong-ngomong sekarang jam berapa?” tanya Rey pada Asha. Asha pun melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya.
“Sekarang jam 3.47 sore. Kenapa?” Asha melirik heran pada sohibnya satu ini.
Terjadi keheningan sesaat. Lalu...
“Mati gue! Bisa dimarahi Cindy lagi nih! Sha, gue duluan ya! Gue lupa kalau ada janji jam 4 sama Cindy!” Rey menyambar tasnya lalu berlari pergi meninggalkan Asha yang masih kaget karena Rey berteriak tidak hanya di depannya tapi juga di telinganya.
***
“Assalamualaikkum. Bu, Asha pulang.”
Asha menyalami ibunya dengan penuh kasih. Wanita setengah baya itu tersenyum dan menjawab salamnya, lalu membelai rambut anaknya dengan penuh cinta.
“Sayang, kamu mandi dulu yah. Ibu sudah siapkan air panas. Terus, kita makan malam sama-sama. Ibu tunggu kamu di dapur,” ujar Ibu Asha dengan lembut. Asha mengecup kening ibunya, lalu naik menuju kamarnya dan mulai mempersiapkan diri untuk mandi.
Setelah mandi dan berganti baju, Asha pun terduduk di kasurnya. Entah apa yang menggerakkan dirinya untuk meraih sebuah foto yang dibingkai kayu sederhana. Disana tampak seorang pria menggendong seorang anak perempuan kecil. Di wajah mereka terpancar senyum kebahagiaan. Tak terasa, airmata Asha mengalir pelan. Cepat-cepat, dia mengusapnya. Dia tak ingin ibunya melihat dirinya menangis.
“Asha sayang. Ayo turun nak, kita makan malam sama-sama,” suara ibunya membuyarkan lamunannya. Asha menaruh foto berbingkai kayu itu pada tempatnya, lalu turun menuju dapur untuk makan malam bersama.
Tiga tahun lalu, ayah Asha meninggal karena kecelakaan. Sebuah kecelakaan beruntun antara truk, mobil sedan dan sepeda. Naasnya, Asha melihat kecelakaan itu secara langsung. Kejadiannya berlangsung cepat dan seketika yang keluar dari mulut hanya teriakan dan tangisan histeris pada waktu itu. Asha pun sempat mengalami trauma berat pada psikologisnya selama beberapa bulan setelah tragedi tersebut. Kini, Asha hanya tinggal berdua di rumah kecil sederhana yang agak terpencil bersama ibunya. Asha memang bukan dari keluarga kaya, namun dia dapat bergaul dengan semua orang. Asha termasuk anak yang cerdas dan memperoleh beasiswa setiap tahunnya. Hanya saja setelah kematian ayahnya, Asha harus bekerja keras membanting tulang untuk makan dan membelikan obat untuk ibunya yang sakit. Tak jarang, dia mengikuti balapan liar setiap malam. Walau trauma masa lalu menghantuinya, mau tak mau dia harus menepisnya demi kesehatan ibunya.
“Sayang, bagaimana sekolahmu hari ini?” Suara lembut milik ibunya menenangkan hati yang terluka. Dia selalu ingat, bahwa sekarang yang dia punya hanyalah ibunya. Asha pun tersenyum, lalu menjawab pertanyaan ibunya.
“Seperti biasa. Ulangan fisika tadi dibagikan dan aku mendapatkan nilai tertinggi. Kata Pak Burhan guru fisika, aku harus masuk penyaringan Olimpiade MIPA. Sayang kalau tidak ikut. Menurut Ibu bagaimana?” Asha membawa peralatan makannya dan milik ibunya yang telah selesai dipakai untuk dicuci.
“Ibu membolehkan saja kalau kamu mau ikut, nak. Tergantung Asha, keberatan atau tidak kalau mengikutinya?”
“Hmm... kalau Ibu memperbolehkan, aku akan mengikutinya. Toh jika terpilih dan menang akan dapat pesangon. Oh ya, Ibu sudah minum obat?” Asha mengelap tangannya dengan handuk kering, lalu berjalan memeluk ibunya dari belakang. Ibunya tersenyum dan mengangguk.
“Asha, tidurlah. Ibu tahu, kamu pasti capek setelah seharian menguras tenaga.” Wanita lembut itu membelai kepala Asha. Asha merasa nyaman. Lalu, ia memeluk ibunya dan mengatakan selamat malam, lalu naik ke kamarnya. Terdengar pintu ditutup dan dikunci dari dalam.
Ruang makan kini hening. Hanya terdengar suara tokek dan angin yang berhembus perlahan. Sayup-sayup, terdengar suara isak tangis.
“Maafkan Ibu, nak.”
***
Di luar masih gelap. Langit masih berwarna kelam. Sang Bagaskara belum beranjak dari peraduannya. Namun, Asha telah mendahului Sang Bagaskara dan ayam jago yang selalu berkokok untuk membangunkan alam setiap paginya. Dia melakukan rutinitas. Membersihkan rumah, menjemur pakaian, belajar sebentar, dan mandi yang diteruskan sholat Subuh. Kalau masih ada waktu, Asha selalu keluar ke kebun bunga dan menyiraminya.
Asha dan ibunya mempunyai usaha kecil-kecilan yaitu menjual bunga potong dan rangkaian bunga. Tidak banyak yang diperoleh setiap harinya, namun setidaknya dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Diam-diam, dia telah belajar tanaman herbal dan fungsi mereka dalam menyembuhkan penyakit. Tanpa sepengetahuan ibunya, Asha menjual beberapa obat herbal racikannya sendiri.
Tercium bau tanah yang basah oleh embun. Begitu segar. Kuntum-kuntum bunga belum mekar. Asha pun menyirami mereka dengan penuh rasa syukur pada-Nya. Matahari mulai beranjak dari peraduannya, melipat selimut malamnya dan menggantinya dengan langit pagi yang tak kalah indah dengan selimut malamnya yang bertabur bintang.
Selesai menyirami semua bunga dan tanaman, Asha masuk ke dapur untuk menaruh peralatan kebunnya. Disana dia mendapati ibunya sedang memasak. Asha pun tersenyum dan membuat teh panas untuk mereka berdua. Setelah itu, dia mengganti bajunya dan turun lagi menuju dapur. Terhidang nasi goreng panas yang aromanya mengundang selera di meja makan.
“Ibu, kayaknya enak banget nih. Kapan aku diajari, Bu?” Asha mengambilkan ibunya, lalu memberikannya pada beliau. Asha mengambil piring lagi dan menaruh nasi goreng diatasnya. Dia mengambil sebanyak-banyaknya dan membuat ibunya geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya yang satu itu. “Nak, kalau mengambil makanan jangan banyak-banyak. Makannya juga pelan-pelan. Jangan terlalu kekenyangan, nanti bukan menjadi manfaat tapi malah menjadi mudarat.”
Asha manyun. Dengan berat hati dia menaruh kembali sebagian nasi yang sudah diambilnya di tempatnya. Dengan cepat dia makan bagiannya, lalu berangkat ke sekolah. Tak lupa dia berpamitan pada ibunya.
Gadis itu mengambil sepeda kumbang di garasi dan mengendarainya dengan kecepatan yang bisa dibilang ....ehm ..... tidak normal. Maklum, Asha terbiasa mengendarai motor balap milik Rey dengan kecepatan penuh, jadi saat mengendarai kendaraan lain apapun itu Asha tancap gas poolll!!!!!!!
-CIIITTTTT!!!!! BRAAKKK!!!-
Terdengar suara rem dan aspal beradu. Sangat memekikkan telinga. Refleks, cewek itu membanting sepedanya dan berlari menuju sumber bunyi. Terlihat anak SD terduduk di aspal disebelah sepedanya yang rantainya putus seketika. Sepertinya kaki anak itu terluka dan akan sangat sakit jika dibuat berdiri apalagi berjalan.
Turun seorang bapak-bapak dari mobil sedan yang menabrak anak itu. Dengan tergopoh-gopoh, bapak itu menghampiri Asha yang menggendong anak SD yang terluka. Bapak itu terlihat merasa bersalah sekali. “Aduhh.. maaf mbak. Saya nanti yang tanggung jawab. Bawa saja ke mobil,” ujarnya gugup. Asha mengangguk dan membantu anak itu ke mobil.
Tiba-tiba, kaca belakang mobil turun. Tampak seorang cowok dengan kacamata hitam dan dandanan rapi milik orang borjuis. Eksperesinya benar-benar nggak enak dilihat apalagi dirasakan. Kayak jeruk purut dah! Aseemmm dan kecuutt!
“Enak aja mau ditaruh disini. Nanti jok mobil gue kotor kena darah. Nggak, nggak usah dibawa ke rumah sakit. Nih, uang buat berobat.” Dia menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan ke Asha.
Asha tersulut emosinya. Dia sangat tersinggung dengan perlakuan cowok itu. “Maaf ya Tuan Muda. Saya tidak bisa menerima pemberianmu itu. Kalau kamu tidak ingin menolong, ya sudah. jangan malah merendahkan harga diri kami. Segalanya tidak bisa dibeli dengan uang, TAHU!! Dasar orang kaya, satu spesies semua!” omelnya. Lau dia kembali menuntun anak itu meninggalkan mobil sedan metalik itu. Dia membawa anak itu menuju pohon terdekat. Asha mengambil plester dan air minum dari ranselnya. Tak ketinggalan obat luka herbal yang selalu dibawanya kemana-mana. Dengan telaten, dia merawat luka anak itu.
“Sudah nggak sakit? Kamu mau diantar pulang?” tanya Asha setelah selesai memberi plester terakhir. Dia memasukkan seluruh peralatan P3K-nya ke tas.
“Iya. Makasih kak, tapi aku nggak mau pulang. Hari ini aku harus tetap sekolah apapun yang terjadi karena ada ulangan dan tugas yang belum kukumpulkan. Lagipula kau tak ingin membuat Ibu khawatir.” Anak itu tersenyum dan beberapa kali meringis kesakitan.
Asha tersenyum. Dia salut atas tanggung jawab anak itu. “Oke, akan kuantar ke sekolah. Tapi kalau masih terasa sakitnya, kamu bilang ke guru UKS supaya diberi pertolongan lebih lanjut. Obat ini cuma dibuat untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat penutupan luka. Ya?”
Dia mengangguk. Asha terlihat puas. Lalu, dia memapah anak itu jalan dan memboncengnya menuju sekolah anak itu dangan riang.
***
Mobil sedan metalik masih tetap di tempatnya. Sepasang mata abu-abu masih mengawasi kedua sosok manusia yang sedang menaiki sepeda kumbang. Dia begitu heran sekaligus salut atas kejadian yang tadi disaksikannya dengan kedua matanya. Seulas senyum mengembang di bibirnya. Dia kembali memakai kacamata hitam miliknya.
“Jalankan mobilnya, Pak.”
***
Perancis, Paris --- jam 2.30 p.m.
Malam telah larut. Namun Paris masih hidup dengan berbagai banyak kegiatannya. Lampu berkelap-kelip. Warnanya yang memantul pada Sungai Sein semakin memperindah suasana. Sesosok tubuh perempuan menikmatinya dari balkon apartemen yang mewah sambil menyeruput secangkir moccacino.
“Permisi nona.”
Sosok tubuh perempuan itu menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ia mendapati seorang wanita setengah baya membungkuk padanya. Wanita setengah baya itu membawa sebuah buku. perempuan itu kembali menatap ke Sungai Sein.
“Ada apa, Sekretaris? Apakah ada yang tidak beres dalam proyek besar?” Perempuan itu menyeruput minumannya lagi. Wanita yang dipanggil sekretaris oleh perempuan itu membuka buku yang dibawanya.
“Ya, nona. Perusahaan yang ditunjuk untuk membiayai segala kebutuhan dalam proyek besar masih tidak mempercayai bahwa proyek tersebut menguntungkan mereka juga. Mereka menginginkan pengajuan proposal kembali dan presentasi hari Senin dua minggu lagi.”
“Lalu, apa yang menjadi masalahnya? Bukankah itu bisa kutangani? Kurasa bukan masalah besar.” Gadis itu menaruh cangkir yang dipegangnya. Sekretaris itu tampak ragu-ragu. Dengan suara tertekan, Sekretaris itu menjawab, “ Namun hari itu seharusnya anda sudah berada di Jakarta untuk menemui Tuan Besar, nona.”
Gadis itu menoleh pada Sekretaris. Pandangannya tidak setenang tadi. Seketika dia berdiri menghadapnya. “Kenapa kau tidak mengatakannya dari tadi? Sekarang aku harus bagaimana? Aku tahu betul tabiat Ayah. Tapi jika proyek ini tidak kukerjakan dengan tanganku sendiri, pasti akan berantakan dan aku tidak suka hal itu. Tapi jika aku tidak memenuhi permintaannya, Ayah akan sangat marah. Apakah tidak ada cara lain, Sekretaris? Apakah kau punya usul yang lebih baik sebagai gantinya?!” Gadis itu terlihat marah namun dia menghela napas panjang dan menghempaskan tubuhnya ke kursi. Laki-laki itu menunduk dalam. Keheningan tercipta.
“ Lalu, apa jadwalku untuk besok?” Gadis itu menyilangkan kakinya dan mengambil cangkirnya. Moccacino yang diminumnya sudah tak terasa apapun lagi untuknya. Otaknya benar-benar sudah menyerah untuk memikirkan soal itu.
“ Jam 8 pagi, ada pelajaran piano dengan Madame Chierish. Jam 10 pagi, anda mempunyai janji dengan Monsieur John Jam 12 siang, afternoon tea dengan Madame Sophia. Jam 3 sore, anda harus membuat janji dengan dr. Sebastian lewat telepon. Dan ada beberapa berkas yang harus ditandatangani.” Sekretaris separuh baya itu menutup bukunya.
Nona besar itu terdiam. Hanya suara angin yang terdengar.
“ Maaf nona.” Suara berat memecah keheningan. Sekretaris itu meneliti kembali buku agendanya. “Lusa nona juga akan bersiap-siap untuk kunjungan ke SMU Tunas Bangsa yang berada di Jakarta untuk observasi terkait permintaan dana perbaikan gedung dan beasiswa.”
Nona itu tetap terdiam. Bahkan saat Sekretaris pamit mengundurkan diri. Nona besar itu masih menatap Sungai Seinn. Mendengarkan bisik angin. Menghayati malam kota Paris yang gemerlap.
***
Hari ini agak sedikit mendung. Matahari malu-malu untuk bersinar. Udara dingin mulai merasuk kulit. Tetapi sepertinya untuk gadis itu sama sekali tidak mempan. Dia malah melampiaskan kekesalannya kepada Soph, cewek pendiam yang menjadi teman sebangkunya sekaligus sahabatnya. Soph cewek Prancis yang pindah satu tahun yang lalu, tetapi dia bisa mengikuti pelajaran dengan baik bahkan termasuk tiga besar nilai tertinggi di sekolah. Soph termasuk golongan anak orang kaya yang patut diperhitungkan. Sayang, Soph sulit didekati. Hanya Asha yang berhasil mencairkan kebekuan hubungan antara anak-anak sekelas dan Soph. Soph memang mau bergaul dengan yang lainnya, tapi dia hanya nyaman bila berteman dengan Asha.
“ Ada apa memangnya Asha?” tanya Soph pada Asha yang menekuk mukanya. Mirip kayak cucian kusut. Asha menatap Soph. Dia menghela napas panjang, lalu mulai berbicara.
“ Gue benci dia!!! Gue benci, benci, benciii!!Sumpah!Pertama kali gue ketemu orang sebrengsek dia! Lo tahu, dia nabrak anak SD, sopirnya panik eh dia gak niat nolong malah ngasih tuh anak duit! Orang sinting! Gak nolong lah! Orang luka dikasih duit, harusnya dikasih perban kek plester atau apalah! Huh!” Asha menggebrak meja, membuat semua mata memandangnya.
“ Sstt!! Asha! Jangan keras-keras!” ujar Soph sambil memukul pelan lengan Asha. Mendadak Asha manyun. “ Habis aku kesel banget sih sama dia. Mentang-mentang kaya, malah seenak udelnya!” Soph hanya mengendikkan bahu. Namun, Soph mulai memasang ekspresi aneh. Seakan menyuruhnya untuk diam dan duduk di bangkunya. Suasana kelas mendadak hening. Tiba-tiba...
“ Mauriasha, bisakah kamu duduk di kursimu bukan di meja? Bukankah sudah disediakan kursi disana?” Suara halus namun tajam terdengar. Asha sangat mengenal suara itu. Dengan hati was-was, dia menoleh ke belakang dan TARAA!... Bu Elis berada di depannya sambil melipat tangan di dadanya. Seketika Asha turun dari tempatnya, lalu duduk di kursinya dengan muka merah padam menahan malu.
***
Perancis, Paris--- jam 9.00 p.m.
“ Nona, besok anda berangkat dengan pesawat ke Jakarta jam 8.00 a.m. Para pelayan sudah saya suruh untuk mempersiapkan koper anda.” Sekretaris setengah baya tersebut menutup agendanya. Perempuan yang dipanggil nona itu hanya mengangguk. Lalu, Sekretaris setengah baya itu membungkukkan badan dan membiarkan perempuan itu sendiri berada di ruangannya.
Perempuan itu termenung beberapa saat. Dipegangnya kalung mungil yang tergantung di leher. Sebuah kalung perak berbentuk bintang yang cantik. Kalung itu mengingatkannya pada ibunya yang telah meninggal dan juga pesan terakhirnya sebelum beliau wafat. Pikirannya pun melayang pada 3 tahun yang lalu...
“ Mika.. tolong.. carikan ibu.. laki-laki ini.. uhukk... Minta dia.. uhukk.. untuk.. berikan.. in..for..masi..ten..tang.. a...” Kalimat itu terputus. Semua orang disana, termasuk Mika, nona besar keluarga Yamada, tahu bahwa malaikat yang disebut oleh Hans Christian Andersen, El-Maut, telah menjemput beliau menuju alam lain. Terakhir yang diingatnya, dia hanya bisa berteriak histeris dan menangis dengan keras seperti orang kesetanan. Setelah itu, semua gelap dan dia tidak bisa mengingat apapun.
Mika tak pernah tahu lanjutan kata-kata ibunya sampai sekarang. Dia telah berusaha mencari orang yang tercetak di foto itu dimana-mana. Di Jepang, Prancis, Spanyol, dan mungkin hampir semua daratan Eropa-Asia, namun hasilnya nihil. Tak ada yang tahu keberadaannya. Mika merasa penasaran dengan pesan terakhir yang janggal tersebut. Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi kepalanya, mengusik hatinya. Tapi sekeras apapun mencari tahu, ia tak pernah menemukan jawabannya. Entah sementara atau selamanya.
Nona besar itu masih merenung. Terhanyut dalam keheningan tanpa suara. Perlahan, airmata membasahi pipinya dan di ruangan besar itu, hanya terdengar suara angin dan bayangan ibunya...
***
“Hari ini kayaknya gue sial banget. Pertama, ketemu cowok brengsek. Kedua, kena damprat Ratu Killer. Terus, nggak tahu deh ntar ada kejadian sial apalagi yang bakal menimpa gue. Haduh... capek deh!” Asha mengeluh pada Soph saat istirahat berlangsung. Gadis lembut itu tetap sabar mendengarkan curhatan sahabatnya.
“Jangan seperti itu. Lagipula kamu sendiri juga salah. Kata orang bijak, apa yang akan terjadi selanjutnya adalah awal dari sikapmu sekarang. Kalau kamu mengatakan hari ini sial, maka kata-kata itu akan menyugesti pikiran dan hatimu yang malah membuat hari awal sampai nanti berganti hari menjadi sial,” ujar Soph penuh kelembutan. Matanya yang berwarna abu-abu memancarkan kehangatan yang mendalam. Asha terdiam. Lalu sesungging senyum terbentuk di bibirnya.
“Yah. Lo benar juga. Gak ada artinya waktu gue kalau cuma buat memikirkan yang lalu. Trims ya. Oh ya, lo nggak ikut beasiswa ke Jepang? Bareng gue.” Asha menatap Soph dengan ceria. Soph hanya mengangguk. Asha sangat senang dan memeluk Soph. “ Ntar kalau kita sama-sama dapat beasiswa, lo sama gue tinggal di tempat yang sama ya?” Lagi-lagi Soph mengangguk. Hening sesaat. Lalu, Asha membuka percakapan lagi.
“Soph, lo tahu gak? Kata Bu Kepsek lusa bakalan ada tamu dari Prancis. Denger-denger sih lagi cari penerjemah. Kenapa lo nggak menawarkan diri? Katanya juga bakal direkomendasikan ke orang itu,” ujar Asha menepuk bahu Soph. Soph bingung. “ Kenapa nggak kamu saja? Dan siapa orang itu? ”
“Dia tuh putri pemilik sekolah ini. Kabarnya dalam rangka kesini selain mengunjungi, juga ngelihat siapa-siapa saja yang bisa rekomendasi untuk diberi beasiswa. Dan gue nggak begitu fasih bahasa Prancis, lagipula gue udah daftarin diri jadi penerjemah bahasa Jepangnya.” Soph mengangguk. Cewek itu tersenyum lagi. Senyum hangat yang menandakan setuju.
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar